Kamis, 13 Januari 2011

Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur

Kondisi Eksisting
Bisnis infrastruktur memiliki tiga karakter utama, yakni skala usaha, kebutuhan modal, dan risiko bisnis. Proyek-proyek infrastruktur biasanya adalah mega proyek yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan dengan modal dan kemampuan investasi yang besar. Karakter bisnis ini sekaligus menjadi entry dan exit barier of industry. Ini berarti, hanya perusahaan dengan ketersediaan finansial yang cukup yang akan bisa bertahan di dalam industri.
Tingginya kebutuhan infrastruktur di Indonesia, tidak diikuti oleh kemampuan yang cukup untuk menyediakan sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur. Pemerintah telah mengidentifikasikan bahwa untuk periode 2005-2011, dibutuhkan pembangunan infrastruktur senilai US $ 145 milyar atau setara Rp. 1.303 triliun. Namun, dari kebutuhan Rp. 1.303 triliun tersebut, APBN diperkirakan hanya mampu mendanai Rp. 225 triliun, atau sekitar 17% dari total kebutuhan pendanaan infrastruktur. Sisanya, sebagian besar (sekitar US $ 80 miliar) ditawarkan kepada pihak swasta untuk dibiayai. Sumber pembiayaan domestik lainnya, antara lain berasal dari lembaga keuangan bank dan non bank, diperkirakan hanya mampu menutup 21% dari total pembiayaan. Sehingga diperkirakan terdapat gap dalam pembiayaan infrastruktur sebesar Rp. 810 triliun atau 62% dari total pembiayaan.

Permasalahan
Beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah sebagai berikut :
(1)Rendahnya partisipasi pihak swasta dalam pembiayaan infrastruktur. Dari gap pendanaan infrastruktur sebesar Rp. 810 triliun, diharapkan pihak swasta dapat menutup Rp. 720 triliun. Harapan ini tampaknya tidak terlalu berlebihan jika melihat pada sejarah keberhasilan Indonesia tahun 1990-an dalam menarik dana investasi swasta dari Asia Timur hingga mencapai US$ 24 milyar dalam mendanai 62 proyek dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pangsa investasi infrastruktur terbesar kedua (27%) setelah Filipina (28%).
(2)Rendahnya kemampuan perbankan dalam pendanaan infrastruktur. Bank lebih banyak mengelola dana jangka pendek, sementara pembiayaan infrastruktur pada umumnya bersifat jangka panjang, dikhawatirkan bank akan memikul risiko mismatch. Sementara untuk saat ini dukungan yang bisa diharapkan dari pasar modal juga relatif masih kecil.
(3)Mengingat keterbatasan APBN dan sulitnya pembiayaan yang berasal dari swasta, pembangunan infrastruktur memerlukan dana yang berasal dari luar negeri. Dana tersebut diharapkan diperoleh melalui kerjasama bilateral dalam bentuk pinjaman lunak. Dalam melakukan pinjaman ini, pemerintah telah menyiapkan regulasi dan perangkat teknis infrastruktur.
(4)Terbatasnya alternatif sumber pembiayaan infrastruktur dasar di luar anggaran pemerintah. Selama ini tidak ada alternatif lain bagi pendanaan infrastruktur dasar selain berasal dari anggaran pemerintah, sementara kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur sangat tinggi.

Solusi
Untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur ini diperlukan beberapa hal. Pertama, karena sifat proyek infrastruktur adalah berbiaya besar (padat modal) dengan risiko besar, maka perlu adanya sistem penyebaran risiko dalam bentuk konsorsium bank untuk mengatasi keterbatasan masing-masing bank. Selain itu sebagaimana lazimnya yang terjadi di negara lain, sumber utama pembiayaan infrastruktur selalu mengandalkan instrumen pasar modal. Untuk itu perlu diciptakan instrumen keuangan jangka panjang khusus untuk pembiayaan infrastruktur. Apalagi untuk penyaluran pembiayaan pembangunan infrastruktur jalan tol memerlukan instrumen keuangan surat utang jangka panjang. Instrumen ini diperlukan untuk mengatasi mismatch pengelolaan keuangan bank pelaksana. Surat utang tersebut harus mendapat jaminan dari pemerintah atau setidaknya dari BUMN untuk menjamin risiko para investor dalam berinvestasi, sebab tanpa adanya jaminan, hal tersebut sulit dilaksanakan karena dinilai penuh risiko. Di Indonesia masih sangat banyak dana-dana jangka panjang idle seperti dari perusahaan asuransi atau dana pensiun. Dana-dana idle tersebut bisa disalurkan untuk membiayai proyek infrastruktur sepanjang return on investment-nya menjanjikan dan risikonya dapat dimininalisir melalui adanya jaminan dari pemerintah.
Kedua, reformasi pengaturan infrastruktur. Dalam hal ini berbagai kebijakan mengenai infrastruktur diperbaharui sehingga pada prinsipnya meliputi : peningkatan kembali peran swasta, mengakomodasi peran daerah, dan penyediaan infrastruktur terbuka bagi BUMN/BUMD, Badan Usaha Swasta, Masyarakat, Koperasi dan lembaga berbadan hukum. Pemerintah telah menetapkan peraturan-peraturan, diantaranya Permenko No, 4/2006 tentang Tatacara Evaluasi Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang membutuhkan dukungan pemerintah. Pemerintahpun memberdayakan segala potensi yang dimilikinya, termasuk BUMN. Keterlibatan BUMN sangat penting dalam pembangunan infrastruktur ini. Bahkan dari total nilai proyek infrastruktur senilai Rp. 1.303 triliun, sebesar Rp. 304 triliun merupakan proyek yang dikerjakan BUMN. Fakta tersebut menegaskan bahwa peran BUMN masih dominan dalam pembangunan infrastruktur. Namun, kemampuan BUMN memiliki keterbatasan. Menghadapi hal ini BUMN dapat melakukan intra-industry sinergi, bekerjasama dengan swasta. Kerjasama dengan swasta tidak hanya menguntungkan dari sisi finansial, juga merupakan learning process yang positif bagi BUMN.
Setidaknya terdapat dua model kerjasama antara BUMN dengan swasta yang dapat dilakukan :
1.Investment invitation, BUMN mengundang swasta untuk berinvestasi menggarap proyek-proyek tertentu melalui penerbitan surat hutang atau saham.
2.Company creation, BUMN mengundang swasta untuk membentuk perusahaan baru/anak perusahaan untuk mengerjakan satu proyek infrastruktur.

Sabtu, 08 Januari 2011

kenapa harus pinjam uang asing ??

“Suatu pemikiran dari seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu institut di kota pahlawan”

Masalah pembiayaan seakan menjadi momok besar dan hambatan utama dalam pembangunan di negeri ini. Seringkali kita melakukan kerjasama dengan pihak asing dalam melaksanakan pembangunan, misalnya saja dalam proyek-proyek pembangunan jalan atau proyek pembangunan tempat pengolahan sampah. Hal tersebut sebenarnya salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah pembiayaan, namun jika kita mencoba berpikir jauh ke depan itu bukanlah solusi yang terbaik. Suatu perusahaan atau negara melakukan kerjasama dengan pihak lain pasti untuk mencari keuntungan, sama hal nya jika kita melakukan kerjasama dengan orang lain untuk bisnis, maka yang kita pikirkan hanya bagaimana kita bisa memperoleh keuntungan besar dengan pengeluaran kecil.

Pada dasarnya saya lebih suka jika negara ini tidak melakukan kerjasama dengan pihak asing karena jika diperhatikan lebih teliti, banyak potensi-potensi dari dalam negeri yang bisa dioptimalkan untuk menjadi sumber pembiayaan pembangunan. Contohnya saja, negara kita sangat kaya akan bahan mineral dan tambang, hal itu seharusnya bisa dioptimalkan untuk menjadi kekuatan negara dalam hal pembiayaan. Selain itu, usaha-usaha kecil sektor menengah juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian kawasan-kawasan tertinggal. Menurut saya ada beberapa hal yang menjadikan negara ini sulit berkembang secara ekonomi, diantaranya:

1. Kurang mengembangkan potensi ekonomi yang ada di dalam negeri;
2. Kurang mengembangkan temuan2 dalam negeri untuk menjadi sumber pembiayaan baru, terutama dalam hal teknologi;
3. Selalu melihat bahwa negara lain lebih hebat dari negara kita, sehingga menyebabkan orientasi selalu kepada negara lain; dan
4. Tindak korupsi yang sudah mengakar.

Dengan menghilangkan empat poin diatas, sekiranya negara ini mampu bangkit menjadi negara yang mandiri dalam pembangunan. Gunakanlah prinsip berdagang, jika tak punya modal mulailah menjual yang kecil dan murah, terus begitu sampai memiliki modal yang besar dan menjual barang yang mahal sehingga mendapat keuntungan yang besar. Majulah Indonesia !!

by: rizky farandy