Minggu, 16 Mei 2010

pembangunan berkelanjutan

PEMBANGUNAN KOTA JAKARTA YANG PARTISIPATIF DAN BERKELANJUTAN DEMI KEPENTINGAN PUBLIK
(Center of urban Management Studies, Yahya Habib)

Pengembangan wilayah merupakan upaya membangun dan mengembangkan suatu wilayah berdasarkan pendekatan spasial dengan mempertimbangkan aspek sosial-budaya, ekonomi, lingkungan fisik dan kelembagaan dalam suatu kerangka perencanaan pembangunan yang terpadu. Jakarta adalah kota terbesar sekaligus menjadi ibukota Indonesia, perkembangan yang terjadi di Jakarta sudah sangat pesat. Jika memperhatikan empat aspek tersebut diatas Jakarta adalah kota dengan tingkat perkembangan tinggi pada aspek ekonomi, namun perkembangan kota Jakarta juga menimbulkan beberapa permasalahan. Urbanisasi yang cukup tinggi telah mengakibatkan ketidakseimbangan antara kebutuhan pelayanan kota dengan kemampuan penyediaan prasarana dan sarana kota. Ketidakseimbangan menimbulkan masalah-masalah perkotaan dengan kompleksitas yang tinggi. Di bidang sosial, kesenjangan antar golongan penduduk, ketidakberdayaan lembaga kemasyarakatan dalam menjalankan perannya telah menimbulkan disharmoni sosial, gangguan keamanan dan ketertiban umum, dan meningkatnya patologi sosial, seperti gelandangan, narkoba dan kejahatan. Dibidang ekonomi, pemulihan ekonomi yang tersendat setelah krisis, telah meningkatkan pengangguran dan kemiskinan, dan merosotnya kemampuan usaha-usaha ekonomi skala kecil dan menengah untuk menyerap tenaga kerja dan menggerakan ekonomi kota. Bersamaan dengan krisis itu, timbul sektor informal yang tidak terkendali yang memberi beban pada pemerintah kota dalam penataan dan penertiban kota. Akumulasi masalah-masalah fisik kota yang kompleks, seperti penataan ruang yang tidak efektif, kemacetan lalu lintas dan transportasi yang buruk, banjir, perumahan kumuh dan sebagainya.


Jika ditelusuri lebih jauh kondisi seperti itu bisa disebabkan oleh pihak pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Fakta menyatakan bahwa selama ini metode yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta adalah top-down. Secara empirik terbukti bahwa pembangunan Jakarta yang mengabaikan aspirasi warga kota dan terlalu berorientasi top-down telah menimbulkan penolakan dan dukungan yang sangat terbatas dari warga kota, serta tidak optimal. Pembangunan partisipatif yaitu pembangunan kota yang direncanakan, dilaksanakan dan diawasi bersama masyarakat. Keterlibatan masyarakat perlu dilakukan agar rasa memiliki warga kota terhadap kotanya dapat dibangkitkan, serta optimalisasi pembangunan kota bisa diraih. Pembangunan partisipatif diharapkan pula dapat mendorong terciptanya akseptabilitas pemerintahan yang akomodatif. Akseptabilitas sekaligus akan menentukan derajat legitimasi pemerintahan dan membuat pemerintahan menjadi efektif dan dipercaya. Selain itu pembangunan partisipatif juga dimaksudkan untuk membangun rasa percaya diri warga kota dan mensinergikan semua kekuatan stakeholder dalam penyelesaian masalah-masalah perkotaan.
Sebagai suatu model pembangunan partisipatif yang berbasis komunitas dilaksanakan melalui mekanisme pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pengaturan kota. Mengintegrasikan tuntutan (demand) dan dukungan (support) pada lingkungan komunitas ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangun kota secara makro. Model pembangunan partisipatif yang berbasis komunitas akan mampu menggerakan pembangunan Jakarta menjadi lebih manusiawi, karena pengakuan terhadap harkat dan martabat warga kota menjadi pegangan utama.

Otonomi Daerah Dan Peran Serta Masyarakat
Pemberian otonomi pada satu sisi dipandang sebagai tindakan pendemokrasian karena menarik warga masyarakat untuk ikut serta dalam pemerintahan. Pada sisi lain, dianggap lebih efektif karena lebih menjamin ketentuan dan kecepatan tindakan-tindakan pemerintah daerah dengan keadaan-keadaan yang bersifat khusus yang terdapat di daerah. Pemerintah daerah sebagai otoritas lokal diberi kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan daerah dengan sendirinya meningkatkan peran-serta warga masyarakat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan beberapa perkecualian, peningkatan partisipasi tentu tidak dengan sendirinya, kecuali pada partisipasi dalam memilih kepala daerah dan memilih anggota DPRD. Selebihnya, peningkatan partisipasi itu tidaklah dengan sendirinya. Peran serta warga masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dalam banyak hal tergantung pada apakah pemerintah daerah memberi kesempatan yang luas bagi partisipasi masyarakat, apakah warga daerah memiliki pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban mereka, dan apakah warga daerah mempunyai minat serta kepentingan terhadap isu-isu daerah. Penciptaan kesempatan yang memadai bagi partisipasi warga dapat dilihat pada tersedianya mekanisme interaksi yang diciptakan untuk berhubungan langsung dengan masyarakat daerah, seperti tatap muka secara periodik ataupun menurut kebutuhan, dengan pendapat atau mekanisme lain sebelum melakukan perdebatan dan pembuatan keputusan dan mekanisme yang memadai untuk membantu otoritas lokal menampung dan merespon aspirasi warga.
Dalam banyak hal warga kota sebenarnya tertarik pada apa yang terjadi di lingkungan mereka, tetapi ketertarikan itu jarang sekali diterjemahkan pada perhatian pada pemerintahan kota. Hal ini terjadi karena para warga tidak mengetahui urusan apa saja yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab otoritas lokal. Akibatnya, warga tidak mengaitkan persoalan yang terjadi dikalangan mereka dengan tanggung jawab otoritas lokal. Kegagalan dalam melihat kaitan erat diantara kedua hal ini merupakan faktor penyebab utama mengapa perhatian dan minat terhadap penyelenggaraan pemerintahan kota begitu rendah. Perhatian warga kota terhadap pembangunan kota juga tergantung pada derajat kepercayaan mereka terhadap kemampuan proses demokrasi lokal dalam menampung dan mengubah aspirasi mereka menjadi kebijakan ataupun sebagai cara mempengaruhi perubahan. Tanpa kepercayaan itu, sangat sedikit insentif bagi warga untuk menaruh perhatian dan minat pada pembangunan kota karena tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mempengaruhi isu lokal. Tingkat kesadaran dan pemahaman warga tentang tugas dan kewenangan (peran dan tanggungjawab) Gubernur dan DPRD sebagai otoritas lokal mempengaruhi secara signifikan tingkat partisipasi warga dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Selain kepercayaan, hal lain yang menentukan tingkat partisipasi adalah kaitan makna otonomi daerah bagi warga dengan partisipasi warga daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Otonomi daerah dikatakan bermakna bagi warga apabila kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan daerah dalam berbagai urusan yang diserahkan kepada derah (otoritas lokal) berdampak langsung terhadap kesejahteraan warga dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan administratif, dan pelayanan dalam mobilitas. Bila otonomi daerah bermakna bagi kesejahteraannya, maka dapat diduga warga masyarakat akan mempunyai motivasi yang jelas berperan-serta dalam pengaturan dan pengurusan kota.

Manajemen Peran Serta Masyarakat
Sektor non pemerintah yang tidak berorientasi pada komersil, seperti lembaga swadaya masyarakat (NGO) dan lembaga kemasyarakatan lainnya hendaknya lebih diberi peran yang lebih luas. Melibatkan peran serta masyarakat akan dapat mengurangi beban pembiayaan, membantu pemerintah untuk mensosialisasikan dan memperluas dukungan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan kota. Pembangunan dan pelayanan perkotaan yang melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan dan pemeliharaan akan memperluas dukungan terhadap kebijakan pembangunan perkotaan. Gagasan-gagasan perencanaan pada skala lokal perlu melibatkan masyarakat kota secara luas. Kegiatan swadaya masyarakat, dukungan manajemen tingkat rukun warga/rukun tetangga (RW/RT) perlu dalam memperluas peran serta masyarakat. Untuk memperoleh motivasi yang diperlukan, perlu hubungan yang dialogis dan komunikatif dengan masyarakat dengan membentuk manajemen partisipasi yang efektif.
Dalam penyusunan manajemen perkotaan hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan smaller, better, faster, and cheaper government. Pemerintahan yang baik yang dekat dengan rakyat, sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan cepat, lebih baik dan lebih murah. Adanya jaringan sistemik dalam manajemen kota akan menghasilkan kinerja yang optimal karena didukung oleh berbagai potensi dan berbagai pihak. Sinergi ini akan menciptakan iklim yang kondusif dalam pelaksanaan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah. Untuk itu, setiap kebijakan hendaknya diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Acceptable (akseptabilitas), bahwa kebijakan dalam pengelolaan perkotaan harus dapat diterima secara luas sebagai suatu pengaturan untuk kepentingan bersama. Diterima dan didayagunakan agar tercipta iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan aktivitas kota.
b. Accountable (akuntabilitas), yaitu kebijakan yang didasarkan pada prinsip bahwa pengelolaan perkotaan secara terbuka harus dapat dipertanggungjawabkan.
c. Profitable (profitabilitas), yaitu kebijakan yang didasarkan pada prinsip bahwa pengelolaan kota harus memiliki prospek ekonomis yang memadai, dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan dan tidak ada pihak yang dirugikan dari pengaturan pengelolaan kota.
d. Sustainable (berkesinambungan), yaitu kebijakan yang didasarkan pada prinsip bahwa pengaturan pengelolaan kawasan perkotaan harus menjamin kesinambungan pembangunan dan pertumbuhan kota secara optimal dan terencana. Kebijakan pengelolaan perkotaan juga harus menjamin lingkungan dan komitmen lingkungan baik lingkungan fisik, biologi, dan sosial ekonomi.
e. Replicable, yaitu kebijakan yang didasarkan pada prinsip bahwa dinamika masyarakat dan pemerintahan yang selalu berkembang dapat diakomodasikan dalam pengelolaan perkotaan, sehingga dinamika masyarakat dapat direspon secara wajar.


Partisipasi warga kota adalah suatu hal mutlak yang harus dilakukan. Partisipasi dapat dilakukan oleh perorangan (individu) atau kelompok (NGO), namun bentuk-bentuk partisipasi tentu perlu dilakukan sebagaimana mesti dan mengingat kapasitas masyarakat sebagai dan berada di posisi apa. Menurut saya bentuk-bentuk partisipasi yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengusulkan isu-isu lokal yang menyangkut urusan/kewenangan daerah agar diatur atau direvisi oleh otoritas lokal;
2. Menyatakan pendapat setuju atau tidak setuju (mendukung atau menolak) tentang isu lokal atau bagian tertentu dari isu yang tengah dibahas beserta dasar pertimbangan dan alasannya;
3. Memonitor dan melaporkan penyimpangan dalam implementasi kebijakan publik ;
4. Melaksanakan kebijakan publik yang sudah ditetapkan, seperti membayar pajak dan retribusi dan menaati peraturan daerah, ikut memerlihara fasilitas kota;
5. Menikmati hasil pelaksanaan kebijakan publik, seperti berbagai bentuk dan jenis pelayanan publik; dan
6. Menyampaikan hasil evaluasi dan koreksi terhadap pelaksanaan suatu kebijakan publik kepada otoritas lokal.
Keenam bentuk patisipasi tersebut dapat disampaikan melalui berbagai cara, seperti menyampaikan secara langsung (berdialog tatap muka), menyampaikan secara tertulis, menyampaikan pandangan melalui media massa, menyampaikan pandangan melalui demonstrasi (dengan atau tanpa pengerahan massa). Menyampaikan pandangan melalui perantaraan pengurus partai politik, atau kombinasi dari cara-cara tersebut baik dengan maupun tanpa beraliansi dengan kelompok lain yang memiliki aspirasi yang sama atau yang bersimpati kepada aspirasi tersebut. Bentuk-bentuk partisipasi ini akan dapat membuka jalan bagi hubungan yang lebih dekat dengan warga, sehingga pemerintah daerah tidak bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat tetapi pemerintah atas komunitas daerah dan akuntabilitas terhadap kebutuhan tuntutan warga.
Kecenderungan yang terjadi sekarang ini menunjukan bahwa partisipasi warga lebih banyak dilakukan dalam bentuk demokrasi pengerahan massa, yang karena itu bersifat emosional dan kadangkala bernuansa kekerasan, yang beraliansi dengan kalangan tertentu. Patut dipertanyakan apakah cara seperti ini dilakukan karena cara lain tidak efektif memperjuangkan aspirasi (karena otoritas lokal hanya memperhatikan tuntutan masyarakat bila dilakukan dengan pengerahan massa) ataukah warga masyarakat hanya mengetahui cara seperti itu saja, atau cara itulah yang disarankan oleh kelompok pendamping yang memang terlatih hanya penggunaan cara tidak konvensional tersebut? Bila pengamatan ini benar, maka transformasi demokrasi dalam mewujudkan partisipasi warga kota perlu pembelajaran yang terencana dan terarah melalui strategi peningkatan kesadaran politik masyarakat lokal, mengorganisir warga melalui suatu organisasi untuk mengaktifkan dan mendidik mereka mejadi warga negara yang proaktif, dan mengembangkan struktur masyarakat lokal agar memiliki akses untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar